PENGARUH KEBIJAKAN JUGUN IANFU TERHADAP PEREMPUAN JAWA
Jugun ianfu adalah para perempuan yang dipaksa masuk bordil militer Jepang! Banyak di antara mereka yang masih berusia di bawah umur ketika direkrut secara paksa. Para jugun ianfu ini kebanyakan berasal dari Korea, Cina, Jepang, dan Filipina, tetapi jumlah mereka di Indonesia terutama dijawa pun tidak sedikit yaitu sekitar 5.000 – 20.000 orang.
juga secara paksa memobilisasi perempuan-perempuan Jawa untuk dijadikan sebagai budak seks pemuas nafsu serdadu-serdadunya, atau yang dikenal dengan sebutan jugun ianfu. Kondisi ekonomi Pribumi yang kian parah dan menuju titik terendah ini membuat orang, yang kadang secara tidak rasional, rela melakukan pekerjaan apapun demi mendapatkan upah sebagai penyambung hidup yang kian tak menentu. Penyakit masyarakat pun kian merebak, salah satunya ialah prostitusi. Bukan lagi menjadi rahasia bahwa prostitusi sudah menjadi bisnis jasa sejak kekuasaan Belanda bercokol di bumi Indonesia. Paper ini hendak mencari tahu keterkaitan antara jugun ianfu dengan praktek prostitusi pada masa Jepang memegang kendali atas Indonesia dalam kurun kurang lebih tiga setengah tahun, 1942-1945.
Jugun Ianfu dan Geliat Prostitusi Masa Pendudukan Jepang
Pengarahan masa atau mobilisasi rakyat Pribumi yang dilakukan oleh Jepang bukan saja memaksa keterlibatan dari jenis kelamin laki-laki, tetapi juga pada perempuan untuk menggenapi kepentingan-kepentingannya. Salah satunya ialah dengan pendirianFujinkai, organisasi yang didirikan pemerintah Jepang yang berfungsi untuk mengumpulkan para perempuan, baik yang sudah berkeluarga maupun belum, guna dijadikan sebagai penahan keadaan sosial ekonomi yang sedang buruk saat itu. Organisasi ini didirikan dengan harapan akan banyak memberikan berbagai penyuluhan dan kegiatan sosial lainnya secara rutin di kampung-kampung. Walaupun sebenarnya terlihat seperti hanya sebagai pemanis kekejaman Jepang.
Pengerahan perempuan Pribumi yang lain yang dilakukan Jepang adalah, seperti yang sebelumnya diterangkan secara singkat dalam pendahuluan, yaitu pengerahan untuk dijadikan sebagai pemuas nafsu birahi atau jugun ianfu kepada manusia dari matahari terbit tersebut, baik orang militer, maupun masyarakat sipil Jepang yang ada di Indonesia. Tetapi lain halnya dengan perempuan yang dimobilisasi ke dalam fujinkaiyang memang didirikan secara legal dan terbuka, jugun ianfu tidaklah demikian. Dalam A. Budi Hartono dan Dadang Juliantoro (1997), yang diartikan dengan jugun ianfu atau wanita penghibur adalah sebuah konsep yang menunjuk kepada mereka yang dinyatakan sebagai korban nafsu birahi tentara Jepang selama masa pendudukan Jepang di daerah-daerah jajahannya. Dengan demikian, keberadaanjugun ianfu tidak hanya berlangsung dan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di daerah-daerah di mana tentara Jepang datang dan berkuasa.
Pelacuran merupakan fenomena sosial yang senantiasa hadir di setiap putaran roda zaman dan keadaan. Keberadaan pelacuran tidak pernah selesai dikupas, apalagi dihapuskan. Walaupun demikian, dunia pelacuran setidaknya bisa mengungkapkan banyak hal tentang sisi gelap kehidupan manusia, tidak hanya menyangkut hubungan kelamin dan mereka yang terlibat di dalamnya, tetapi juga pihak-pihak yang secara sembunyi-sembunyi ikut menikmati dan mengambil keuntungan dari keberadaan pelacuran.
Awalnya perempuan-perempuan Cina dan Eropa, namun kemudian mulai marak dari kalangan Pribumi juga. Pelacur Pribumi umumnya dibayar lebih rendah daripada pelacur Cina dan Eropa. Penyakit sosial ini terus bertahan sampai ke masa pendudukan Jepang. Bahkan pada masa pendudukan Jepang, kegiatan prostitusi penduduk Pribumi menjadi semakin subur. Meskipun dilakukan secara tertutup, tetapi praktek ini dapat dilakukan secara terorganisir dengan begitu rapih. Jepang memanfaatkan kelicikannya dalam politik propaganda memobilisasi penduduk Pribumi, dengan cara memberikan iming-iming serta janji manis kepada perempuan Pribumi yang sesungguhnya telah tertipu daya akan dijadikan pelacur atau jugun ianfu.
Apalagi kondisi ekonomi yang sangat buruk membuat masyarakat tidak mudah untuk berpikir jernih menghadapi wabah kelaparan. Iming-iming memperoleh pekerjaan atau dapat mengenyam bangku sekolah menjadi kata-kata manis Jepang yang sulit untuk ditolak. Tetapi Jepang tidak menjalankan kegiatan ini dengan tangannya sendiri, bagaimanapun ia ingin menjaga agar tangannya tetap terlihat bersih, siasat ini dijalankannya dengan menggunakan aparat Pribumi setempat, mulai dari kelompok masyarakat terkecil yaitu rukun tetangga, desa, lurah, camat, dan seterusnya, karena individu-individu inilah yang sesungguhnya memiliki pengaruh dan otoritas dalam masyarakat.
Propaganda Jepang dalam melakukan penaklukan kesadaran atau hegemoni terhadap aparat tersebut dapat mencapai hasil, tidak sedikit dari mereka yang akhirnya menjadi kolaborator praktek kotor itu, baik secara sadar maupun tidak. Ini merupakan tragedi. Semuanya dijalankan secara terkendali dan dalam koordinasi pemerintah Jepang. Bentuk prostitusi pada zaman Jepang ini terstruktur rapi, mulai dari perekrutan, penyeleksian, penempatan di rumah bordil milik Jepang, hingga tamu-tamu yang harus dilayani, yang hampir semuanya adalah orang Jepang .
Penguasa militer Jepang mendirikan tempat-tempat yang dihuni jugun ianfu di setiap wilayah komando militer dengan tujuan untuk mencegah terjadinya pemerkosaan oleh tentara Jepang terhadap penduduk lokal, menjaga moral tentara Jepang, serta mencegah penyakit kelamin yang akan melemahkan kekuatan militernya. Perlu diberi garis tegas bahwa, pada masa pendudukan Jepang, orang-orang Indonesia yang menjadi pelacur ialah karena ada yang memang sengaja berkeinginan dalam pekerjaan tersebut, juga ada yang menjadi pelacur karena tertipu muslihat Jepang yang akhirnya menjadi jugun ianfu.
Tidak sedikit dari mereka yang tertipu dan akhirnya tercemplung menjadi jugun ianfu berasal dari keluarga aparat ataupun pegawai pangreh praja karena takut kehilangan pangkat dan jabatannya. Propaganda memberi iming-iming tentang mendapat pekerjaan ataupun pendidikan, tidak pernah dilakukan secara terbuka melalui media-media komunikasi masa seperti surat kabar ataupun radio, melainkan seperti halnya desas-desus yang melambung dari mulut ke mulut. Semua kegiatan terorganisir ini berada dalam wewenang Jawatan Propaganda Jepang atauSendenbu. Korban-korban yang tertipu menjadi jugun ianfu umumnya anak perempuan yang masih di bawah umur, dan gadis, tetapi ada juga sebagian yang sudah berkeluarga. Mereka juga kebanyakan perempuan yang berpendidikan rendah, bahkan tidak berpendidikan dan buta huruf.
Kesulitan ekonomi kerap menjadi alasan utama mereka yang tertipu, seperti yang diungkapkan oleh salah seorang mantanjugun ianfu, Ibu Lasiyem:
“… yang ada dalam pikiran saya adalah bagaimana bisa kerja. Saya ingin membelikan makanan untuk anak saya … karena itu ketika ada tawaran kerja saya langsung sanggup, … saya tidak bilang dengan suami saya”.
Para korban yang tertipu ini baru akan sadar bahwa janji serta iming-iming tersebut tidak lain hanyalah selimut dari dijadikannya budak nafsu orang-orang Jepang setelah mereka sadar dibawa ke rumah bordil Jepang yang bernama Ian-jo, yang keketatannya selalu dalam pengawasan pemerintah Jepang. Adapun tarif yang dikenakannya berbeda-beda, diantaranya 2,5 Rupiah bagi kalangan militer pada jam siang, dan 3,5 Rupiah untuk orang sipil dimulai jam 5 sore sampai tengah malam, sedangkan untuk servis sampai pagi berbiaya 12,,5 Rupiah. Meskipun nampaknya para jugun ianfu mendapat penghasilan, tetapi kenyataannya yang diterimanya hanyalah karcis para pelanggan, yang seharusnya dapat ditukarkan dengan uang, tidak pernah terjadi. Ian-jo antara lain terdapat di bekas asrama peninggalan Belanda. kantong-kantong militer Jepang, dan rumah-rumah penduduk yang telah dikosongkan. Konsumen jugun ianfu baik dari kalangan militer maupun sipil akan diberikan kondom. Hal ini dilakukan untuk menghindari serdadu Jepang dari penyakit kelamin yang dapat melemahkan kekuatan militer Jepang. Pada prakteknya kebanyakan mereka tidak ingin memakai kondom, dengan alasan akan mengurangi kenikmatan berhubungan seksnya. Orang-orang Jepang umumnya lebih menyukai perempuan Eropa, seperti perempuan-perempuan Belanda yang terjebak di Indonesia dan ditawan oleh pihak Jepang.
Perempuan-perempuan di Ian-jo menjalani pemeriksaan kesehatan yang merendahkan martabat. Mereka tidak bisa berbuat apa-apa ketika para petugas medis menyuruh mereka membuka pakaian sampai akhirnya mereka telanjang bulat, lalu menggerayangi tubuh mereka. Selain itu, para perempuan budak seks ini melewati pemeriksaan yang sangat tidak bermoral, pemeriksa yang berasal dari Jepang itu memasukkan alat bernama cocor bebek, yang terbuat dari besi panjang ke dalam vagina jugun ianfu, kemudian ketika alat ini, bagian ujungnya akan melebar untuk membuka vagina. Dengan pemeriksaan ini dapat diketahui apakah perempuan itu sudah terserang penyakit kelamin atau belum. Dalam novel berlatar sejarah berjudul Kembang Jepunkarangan Remy Sylado, digambarkan rumah-rumah bordil Jepang banyak yang berkedok restoran, dan para perempuan calon jugun ianfu itu dibawa ke tempat-tempat seorang “geisha” untuk diberi arahan dan diajarkan berbagai hal tentang praktek menjadi pelacur. Pembahasan novel tersebut sangat menarik dengan plot, diksi dan gambaran cerita yang cukup vulgar. Hal lain yang menarik dari rumah bordil Jepang adalah adanya sistem penggantian sistem nama, dari nama Indonesia ke nama Jepang. Semua orang yang direkrut Jepang akan langsung diberi nama Jepang dan tidak boleh lupa menggunakannya. Misalnya seorang jugun ianfu seorang gadis Jawa yang bernama Mardiyem yang diberi nama Jepang Momoye. Ada juga Waginem dengan nama Jepang Sakura, dan Haruye nama Jepang dari Jatinem.
Selama pendudukan Jepang di Indonesia, terdapat tiga angkatan yang dijadikan sebagai budak seks Jepang atau jugun ianfu. Angkatan pertama berjumlah 24 perempuan, yang ditempatkan di Telawang, di pinggiran kota Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Angkatan kedua pada tahun 1943, berjumlah 35 orang. Dan angkatan ketiga pada pertengahan tahun 1944. Dari angkatan pertama hingga yang terakhir, ransum makanan yang diberikan kepada para budak seks Jepang semakin dikurangi nilai gizinya.
Kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, dan Semarang menjadi magnet pagi para pendatang dari daerah-daerah. Orang-orang yang merantau ke kota-kota besar ini memiliki anggapan dan harapan bahwa mereka dapat mengubah keberuntungannya, mengubah nasibnya yang buruk menjadi lebih baik, sebab kota-kota besar memiliki sentra ekonomi yang lebih luas dan menjanjikan. Padahal anggapan dan harapan tidak selalu tepat dengan kehendak, kenyataan selalu bisa berkata lain. Niat memperbaiki kualitas hidup malah terjadi berkebalikan. Para perempuan yang dijadikan sebagai jugun ianfu telah mengalami beban siksaan yang berat, tidak hanya menyebabkan cacat fisik akibat siksaan-siksaan dari orang Jepang yang dilayaninya, juga siksaan batin yang tak berkesudahan membuatnya trauma dalam berhubungan seksual.
Seorang jurnalis perempuan Hilde Janssen bersama sahabatnya fotografer Jan Banning, warga Belanda, baru-baru ini menggelar pameran foto mengenai para jugun ianfu Indonesia. Pameran ini mengungkapkan kembali luka lama dan trauma akibat pendudukan Jepang selama Perang Dunia Kedua. Janssen berhasil mewawancarai 50 perempuan mantan jugun ianfu. Ia mengakui sempat dihantui mimpi buruk karena berulang kali mendengar kisah mereka. Misalnya saja Paini yang sejak berumur 13 tahun dipaksa bekerja di sebuah tangsi dekat desanya. Suatu malam ia dijemput paksa oleh serdadu Jepang, dibawa ke tangsi, dan diperkosa berulang-ulang. Begitu terus setiap malam. Begitu dalam trauma yang mereka alami sehingga kebanyakan mantan jugun ianfu ini menyembunyikan identitas mereka dan menolak untuk berbicara.
Sampai saat ini para mantan jugun ianfu masih merasa trauma dan sangat menderita akibat pengalaman buruk yang mereka alami. Belum lagi cap negatif yang kadang dilekatkan pada mereka. Mungkin yang paling mengenaskan adalah sikap pemerintah Indonesia yang menganggapnya aib (Tempo, 5 September 2010). Inikah harga yang harus dibayar oleh perempuan-perempuan tersebut untuk negeri mereka?